
Pendahuluan: Dari Tradisi ke Viral Global
Beberapa bulan terakhir, nama “aura farming Indonesia” mencuat di linimasa media sosial, menjadi viral tidak hanya di dalam negeri tetapi juga mendapatkan perhatian internasional. Asal dari sebuah video tradisi lokal, tren ini kemudian berkembang menjadi fenomena global — dan menarik semua kalangan dari selebriti hingga fans budaya digital.
Pada intinya, aura farming mewakili eksponen kekuatan visual dan energi personal — bagaimana seseorang bisa tampil tenang, percaya diri, dan “memancarkan aura” hanya lewat gerakan minimal. Meski terlihat sederhana, fenomena ini menyimpan kisah menarik perpaduan antara tradisi lokal, penetrasi digital media sosial, dan identitas budaya kontemporer.
Artikel ini akan mengurai: bagaimana aura farming Indonesia bermula, mengapa bisa viral, bagaimana dampaknya terhadap budaya dan media sosial, serta tantangan yang muncul. Kita akan menyelami dari akar budaya lokal ke dunia maya, dan memahami apa yang tren ini katakan tentang Indonesia dan generasi kekinian.
Asal-usul Aura Farming dan Budaya Pacu Jalur
Sejak muncul di pencarian dan liputan media global, banyak yang penasaran: apa sebenarnya aura farming Indonesia itu?
Istilah “aura farming” sendiri merujuk pada praktik “membudidaya aura” — yakni memproyeksikan aura atau energi personal lewat tindakan repetitif bergaya, yang terlihat effortless dan penuh pesona. Konsep ini memang telah muncul dalam komunitas online sejak 2024, tapi puncaknya meledak setelah video seorang anak berdiri di ujung perahu kecepatan tradisional di festival Pacu Jalur, Riau, viral. Wikipedia+2Indiatimes+2
Pacu Jalur sendiri adalah tradisi lomba perahu panjang khas Kuantan Singingi, Riau, yang punya nilai budaya tinggi. Dalam festival itu, ada sosok Togak Luan atau Tukang Tari — anak yang berdiri di ujung perahu untuk membakar semangat awak perahu lewat gerakan, seruan, dan irama. Keberadaan posisinya membuatnya harus punya keseimbangan tinggi, keberanian, dan panggung visual yang kuat. Wikipedia+1
Dalam video viral tersebut, anak bernama Rayyan Arkan Dikha mengenakan pakaian tradisional Teluk Belanga, kacamata hitam, dan melakukan gerakan sederhana dengan ekspresi tenang saat perahunya melaju kencang. Gerakannya yang minimal namun penuh intensi menciptakan daya tarik visual luar biasa — dan sejak itu banyak yang meniru dan menyebutnya sebagai representasi dari aura farming Indonesia. Indiatimes+2The Economic Times+2
Sebagai catatan, Wikipedia mencatat bahwa fenomena ini mengombinasikan tradisi lokal dan budaya digital dalam satu momen viral global. Wikipedia Menariknya, tren ini bukan hanya viral karena gerakan, tetapi juga karena makna bahwa “kehadiran tenang berdampak besar”, sebuah gagasan estetika yang resonan di media sosial modern.
Mengapa Aura Farming Bisa Viral? Faktor Psikologi & Media Sosial
Untuk memahami fenomena aura farming Indonesia, kita harus melihat perpaduan antara faktor budaya, psikologi, dan mekanisme media sosial. Berikut beberapa elemen kunci yang membuatnya meledak:
1. Estetika minimalis dan keheningan ekspresif
Salah satu daya tarik utama adalah kesederhanaan gerakan dan ekspresi. Gerakan lambat, tenang, dan berulang-ulang menciptakan kesan “cool without try-hard”. Audiens tertarik pada estetika “apa adanya” ini — jauh dari gerakan dinamis, tetapi kuat dalam keheningan.
Dalam dunia media sosial yang penuh hingar-bingar konten agresif, munculnya momen slow visual seperti ini terasa sebagai “oasis” yang menyegarkan.
2. Aura sebagai konsep identitas generasi
Konsep aura farming berkaitan dengan identitas digital — bagaimana seseorang tampil “berenergi” tanpa harus menunjukkan “aksi besar”. Bagi generasi muda, ini menjadi cara memproyeksikan kehadiran: “aku ada, tapi tak mencolok secara agresif”. Istilah aura, vibes, energy sudah menjadi kosakata dalam pergaulan digital. Aura farming memanifestasikan itu dalam visual nyata.
3. Efek memviralkan melalui imitasi
Tren ini cepat menyebar karena sifatnya yang mudah ditiru. Orang bisa menempelkan audio, latar perahu, atau gerakan sederhana di tempat lain. Selebritas dan atlet global ikut mencoba versi mereka, seperti pemain sepak bola PSG, BTS, F1 driver — hal ini makin menyebarkan tren ke luar batas geografis. Indiatimes+2The Economic Times+2
4. Daya narasi budaya lokal yang menarik
Di balik viral, ada cerita: tradisi Pacu Jalur, anak lokal jadi bintang global, perpaduan modern dan tradisi. Cerita seperti ini sangat menarik media — bukan sekadar video estetis, tapi punya akar yang bisa diceritakan. Media internasional banyak memberitakan kisah budaya dan latar tradisi di balik tren. Indiatimes+1
5. Momentum digital & algoritma platform
Algoritma TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts memprioritaskan video yang bisa mempertahankan perhatian — video gerakan sederhana dengan visual kuat cenderung ditonton ulang, dibagikan, dan direkomendasikan. Aura farming muncul di waktu ketika konten ekspresif dan estetika visual tengah digemari, sehingga mendapat celah algoritma untuk tumbuh cepat.
Semua faktor ini bersama-sama menciptakan kondisi ideal agar aura farming Indonesia melesat dari satu video lokal menjadi fenomena global — bukan karena kebetulan, tetapi karena resonansi budaya dan kekuatan visual media sosial.
Dampak dan Pengaruh terhadap Budaya & Media Sosial
Fenomena viral seperti ini tak berhenti di tataran hiburan — ia membawa dampak nyata ke berbagai aspek: budaya lokal, identitas generasi, ekonomi kreatif, hingga citra Indonesia di mata dunia.
Budaya Lokal Mendapat Spotlight Baru
Salah satu efek positif paling nyata adalah sorotan baru terhadap budaya lokal. Pacu Jalur, yang dulu mungkin dikenal Indonesia bagian timur atau provinsi Riau, kini dibicarakan seluruh negeri dan dunia. Tradisi anak penari perahu (Togak Luan) yang dulunya hanya lokal kini menjadi elemen budaya simbolik di era digital.
Pemerintah lokal Riau bahkan menobatkan Rayyan sebagai duta pariwisata provinsi sebagai bentuk apresiasi terhadap representasi budaya melalui tren viral. Indiatimes Ini menunjukkan bahwa fenomena viral bisa menjadi jembatan antara budaya lokal dan promosi wisata kreatif.
Pengembangan Ekonomi Kreatif
Tren seperti ini membuka peluang ekonomi baru — produk konten, merchandise, kampanye pariwisata, budaya kreatif digital. Misalnya, video tutorial gerakan aura, filter TikTok/IG untuk meniru gaya aura farming, hingga kolaborasi merek fashion dengan tema tenang dan ekspresi minimalis.
Bagi konten kreator lokal, aura farming memberikan ruang eksplorasi: konten slow visual, kolaborasi budaya, dan niche aesthetic. Hal ini mendorong diversifikasi konten yang tidak melulu kecepatan dan musik keras, tetapi juga keheningan estetik.
Identitas Generasi & Wacana Budaya Digital
Tren ini memperlihatkan bagaimana generasi sekarang mencari cara baru mengekspresikan diri. Dulu mungkin “viral” identik dengan aksi spektakuler; sekarang, gerakan tenang pun bisa viral jika punya aura kuat. Ini jadi bahan refleksi: apakah kita lebih menghargai “kehadiran” dibanding “kegaduhan”?
Selain itu, aura farming membuka wacana tentang citra diri di dunia maya: tidak melulu harus ekspresif agresif, tapi bisa dengan performa sederhana dan estetis.
Citra Indonesia di Mata Dunia
Ketika selebritas dan media luar negeri ikut membahas aura farming Indonesia, ini indikasikan bahwa budaya digital lokal bisa tembus batas budaya dan negara. Sebuah video anak kecil dari Riau bisa menjadi bahan sorotan global, menciptakan narasi bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya dan inovasi digital.
Liputan internasional seperti Times of India, Economic Times bahkan memuat kisah Rayyan dan fenomena aura farming. The Times of India+2Indiatimes+2 Ini memperkuat ide bahwa tren lokal bisa menjadi “ekspor soft power” budaya digital.
Tantangan: Komersialisasi, Eksploitasi, dan Tekanan Viral
Namun, dampak tidak selamanya positif. Viralitas sering membawa ekspektasi berlebih, tekanan untuk mempertahankan tren, eksploitasi citra anak, dan masalah hak cipta. Ada risiko bahwa fokus tren lebih ke viralitas daripada karakter dan makna budaya.
Ketika tren bergeser, mereka yang menjadi ikon bisa terlupakan atau bahkan disalahgunakan oleh pihak-pihak komersial. Penting untuk memastikan bahwa mereka mendapat perlindungan hak, apresiasi yang adil, dan kemitraan yang menghormati identitas mereka.
Strategi & Arah Ke Depan: Mempertahankan Tren dengan Makna
Tren viral cenderung cepat redup. Agar aura farming Indonesia terus relevan, dibutuhkan strategi dan niat menjaga agar tren tidak hanya menjadi hype sesaat.
Edukasi dan Penguatan Nilai Budaya
Perlu ada upaya menjelaskan akar budaya di balik aura farming — bahwa fenomena ini tidak lepas dari tradisi Pacu Jalur dan nilai lokal. Publik perlu diajak mengerti bahwa tren ini bukan sekadar gaya visual, tetapi bagian dari jalinan budaya kontemporer.
Institusi budaya, sekolah, dan media bisa membuat konten edukatif: sejarah Pacu Jalur, makna posisi Togak Luan, serta diskusi tentang estetika dalam budaya modern.
Kolaborasi Kreatif yang Berkelanjutan
Kolaborasi antara seniman lokal, desainer, musisi, bahkan teknologi dapat menghasilkan format baru yang mengadaptasi aura farming. Misalnya, instalasi seni interaktif dengan gerakan lambat, fashion line yang mengusung tema elegan minimalis, atau konten video immersive VR yang mengeksplorasi ruang dalam gerak tenang.
Kolaborasi dapat menjaga tren tetap hidup secara organik, tidak hanya bergantung pada viral semata.
Perlindungan dan Pengaturan Etika
Bagi mereka yang menjadi ikon (seperti Rayyan), sangat penting ada perlindungan hak cipta, pengaturan kontrak, dan edukasi manajemen media sosial agar tidak dieksploitasi. Orang tua dan pihak lokal perlu dilibatkan aktif.
Regulasi media dan kebijakan perlindungan artis anak bisa diperkuat agar tren budaya digital tidak memicu eksploitasi.
Evolusi Tren dan Adaptasi Konten
Tidak ada tren yang statis. Aura farming mungkin muncul dalam bentuk-bentuk baru: gerakan minimal di media lain, adaptasi di fashion, musik latar, atau tren audio-based di podcast. Kreator bisa mengeksplorasi variasi: slow motion, visual gelap cahaya, atau gerakan ambient.
Dengan evolusi, tren bisa bertahan lebih lama dan relevan di berbagai platform.
Penutup
Aura Farming Indonesia bukan sekadar tren sesaat — ia adalah refleksi bagaimana budaya lokal dan identitas digital bertemu dan meresonansi di era media sosial. Dari tradisi Pacu Jalur hingga sorotan dunia, fenomena ini membuka ruang diskusi tentang kehadiran, estetika, dan makna di era kontemporer.
Kita sebagai audiens dan pelaku kreatif punya tanggung jawab agar tren seperti ini tidak hanya viral, tapi bermakna. Semoga aura farming terus berkembang, bukan sebagai gimmick, tetapi sebagai ekspresi budaya dan identitas masa kini.
Referensi
-
Wikipedia — Aura farming (deskripsi tren dan asalnya) Wikipedia
-
Indiatimes / media: “What is Aura Farming?” dan kisah Rayyan Arkan Dikha Indiatimes+2Indiatimes+2
-
Times of India – pengenalan tren aura farming dan dampaknya The Times of India+1
-
Informasi budaya Pacu Jalur & peran Togak Luan (dilaporkan di liputan viral) Indiatimes+2Indiatimes+2